Sabtu, 08 November 2008
ANTISIPASI TERHADAP KRISIS HARGA KELAPA SAWIT
Di bawah ini adalah beberapa poin pernyataan Direktur Jenderal Perkebunan, Ahmad Mangga Barani, tentang antisipasi pemerintah terhadap krisis harga kelapa sawit. Hal ini disampaikan beliau dalam wawancana dengan wartawan media Info-Sawit dan media Perkebunan, beberapa minggu yang lalu.
Pada awal statementnya Direktur Jenderal Perkebunan menjelaskan, bahwa yang terkena dampak kerugian terbesar adalah petani swadaya, yang menerima harga pembelian TBS 300/kg (pada saat wawancara). Karena mereka langsung berhadapan kondisi pasar yang real.
Sedangkan petani inti-plasma masih meninkmati harga yang lebih baik, yakni sekitar Rp. 600/kg (pada saat wawancara). Hal ini karena harga yang diterima petani tidak didasarkan langsung pada harga pasar melainkan penetapan harga pada bulan sebelumnya.
“Ini adalah sisi positif dari sistem kerja sama Inti-plasma, yang saat harga CPO boom dikritik karena mengurangi keuntungan ekonomi yang bisa dinikmati petani, karena harga beli Inti lebih rendah dari harga pasar”, katanya.
Namun demikian, pemerintah tetap akan berusaha berupaya mengurangi beban petani dengan mendorong peningkatkan harga beli TBS. Serta akan mengurangi kewajiban-kewajiban di tingkat pengusaha yang akhirnya ditimpakan pada petani.
Langkah pertama adalah menyerap kelebihan supply CPO yang seharusnya di ekspor ke Eropa maupun ke Amerika Serikat ke pasar domestik. Dalam hal ini diarahkan untuk penyediaan bahan bakar bio-diesel di dalam negeri. Langkah kedua adalah mencari pasar-pasar potensial baru seperti Afrika, Timur Tengah dan Rusia.
Terkait dengan beban di tingkat pengusaha, Direktur Jenderal Perkebunan mengatakan, pemerintah akan menurunkan pajak ekspor pungutan ekspor menjadi 7,5 persen dan bukan tidak mungkin menjadi 0 persen. Tentunya dengan berbagai pertimbangan yang rasional. Tujuannya mengurangi beban pengusaha dan eksportir CPO yang secara tidak langsung dibebankan kepada petani.
Namun untuk jangka panjang menurut Direktur Jenderal Perkebunan, industri sawit perlu diarahkan untuk lebih terdiversifikasi. Tidak hanya melulu ekspor dalam bentuk CPO saja namun juga produk olahan dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Sehingga produk dari sawit yang diekspor memiliki pangsa pasar yang lebih beragam dengan tingkat harga yang berbeda-beda pula.
Untuk petani, Direktur Jenderal Perkebunan mengingatkan perlunya menabung atau menyediakan dana mengantisipasi gejolak. Harga komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor cenderung memiliki harga yang tidak stabil. Oleh sebab itu jika petani tengah menikmati harga yang boombastik, sebaiknya tidak lupa untuk menyisihkan keuntungannya untuk menghadapi resiko di masa yang akan datang atau melakukan investasi di bidang lain.
“Pengalaman harga naik dan turun secara tidak terduga bukan hal baru untuk komoditas perkebunan. Komoditas lainnya seperti cengkeh, nilam, vanili pernah mengalami hal demikian. Bahkan ada yang berakhir dengan tragis, menjadi komoditas yang tidak lagi menarik untuk dikembangkan. Oleh sebab itu perlu selalu waspada”, ungkap Direktur Jenderal Perkebunan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar