;

Minggu, 26 Agustus 2007

PENGAWAS BENIH TANAMAN, PENGAWAL MUTU BENIH TANAMAN PERKEBUNAN


Benih unggul dengan mutu yang prima merupakan salah satu aspek penting dalam usaha pertanian. Oleh karenanya untuk melindungi produsen dan konsumen benih, Pemerintah mengupayakan jaminan mutu benih dengan melaksanakan kegiatan pengawasan benih. Hal ini selaras dengan no 12 tahun 1992 tentang System Budidaya Tanaman. PP no 44 tahun 1995 tentang Perbenihan yang dijabarkan untuk lebih operasional dengan Kep Mentan nomor 39/Permentan/OT.140/8/2006 tentang produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina yang dengan tegas mengisyaratkan untuk benih yang beredar harus disertifikat dan berlabel.

Secara perundang-undangan dan peraturan telah lengkap. Pemerintah menjamin mutu benih yang diproduksi dan beredar. Selanjutnya bagaimana operasional penjaminan mutu benih ditingkat lapangan.?

Sesuai dengan PP nomor 44 tahun 1995 pasal 46 (1) dan 47, dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dibidang perbenihan tanaman, Menteri mengangkat Pengawas Benih. Hal tersebut direalisasikan dengan pengangkatan Pengawas Benih Tanaman secara enphasing pada tahun 2001. Petugas Pengawas Benih Tanaman yang telah diangkat tersebut kemudian ditempatkan pada kelembagaan yang berfungsi dalam pengawasan benih di pusat maupun di propinsi.

Pengawas Benih Tanaman tersebut diberi wewenang dalam : 1) melakukan pemeriksaan terhadap proses produksi 2) melakukan pemeriksaan terhadap sarana dan tempat penyimpanan serta cara pengemasan benih bina 3) mengambil contoh benih guna pemeriksaan mutu 4) memeriksa dokumen dan catatan produsen, pemasok dan pengedar benih 5) melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan kegiatan sertifikasi 6) melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan pendaftaran, pengadaan, perijinan, sertifikasi dan pendaftaran peredaran benih bina.

Berdasarkan Menkowasbangpan nomor 57/KEP/MK.WASPAN/9/99 tugas pokok Pengawas Benih Tanaman adalah : menyiapkan, melaksanakan, mengevaluasi, mengembangkan dan melaporkan kegiatan pengawasan benih tanaman yang meliputi penilaian kultivar, sertifikasi, pengujian, pengawasan mutu benih dan peredaran benih.

Ruang lingkup tugas dan fungsi Pengawas Benih Tanaman meliputi : a) Penilaian kultivar dari menyiapkan uji adaptasi dan evaluasi varietas, observasi jalur harapan, pengamatan dan pencatatan, penilaian daya adaptasi, keunikan, keseragaman dan kemantapan, melaksanakan uji laboratorium ,rekomendasi pemurnian varietas dan pemutihan varietas. b) Sertifikasi/pelabelan benih, memeriksa permohonan, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan pertanaman, pemeriksaan peralatan pengolahan benih, pengambilan contoh benih untuk uji laboratorium, melaksanakan uji laboratorium sampai membuat rekomendasi hasil penilaian/pengujian. c) Pengawasan peredaran benih dari inventarisasi pedagang, memantau stok dan peredaran benih, pengecekan mutu benih, pemasangan label ulang, menganalisa dan memantau pelanggaran , proses produksi dan peredaran benih, membuat rekomendasi pencabutan peredaran benih, sebagai saksi ahli dalam pengawasan peredaran.

Terkait dengan ruang lingkup tugas Pengawas Benih Tanaman maka mutu benih yang diproduksi dan beredar di wilayah Indonesia ini tergantung dari kinerja Pengawas Benih Tanaman yang ada.

Namun apa yang terjadi di lapangan sampai saat ini ? Dengan keterbatasan prasarana, sarana kerja, laboratorium dan biaya operasional Pengawas Benih Tanaman tidak dapat berbuat banyak. Apalagi beberapa propinsi pimpinan Dinas yang membidangi Perkebunan belum memahami pentingnya pengawasan dan sertifikasi benih sehingga pemberdayaan dan fasilitasi Pengawas Benih Tanaman belum dilaksanakan secara optimal. Jumlah Pengawas Benih Tanaman untuk masing-masing propinsi pada umumnya masih terbatas apalagi dengan fasiltas kerja yang serba terbatas dibandingkan dengan beban tugasnya terjadi ketimpangan.

Dalam era otonomi daerah sesuai PP no 25 tahun 2000 kegiatan pengawasan benih merupakan kewenangan Propinsi. Dengan demikian fasilitasi dan pemberdayaan Pengawas Benih Tanaman di Kelembagaan pengawasan dan pengujian mutu benih di propinsi (Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD) maupun di IP2MB dalam merupakan tanggung jawab Propinsi.

Beberapa daerah yang memiliki UPTD pengawasan dan pengujian mutu benih pada umumnya masih terbatas dalam menunjang operasional fungsi kelembagaan tersebut. Di lain pihak sebagai UPTD masih sangat terbatas dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kalau ditinjau dari biaya sertifikasi benih yang berlaku, maka biaya tersebut sangat rendah dibandingkan dengan harga dari benih itu sendiri, dan juga apabila dibandingkan dengan biaya operasional sehingga PAD dari kegiatan pengawasan benih juga relatif kecil.

Apabila fasilitasi Pengawas Benih Tanaman dalam operasional tugas dan fungsinya tidak dapat ditingkatkan, maka kegiatan pengawasan dan peredaran benih tidak dapat berjalan semestinya. Demikian pula penggunaan benih unggul dengan mutu yang terjamin sulit untuk dapat diwujudkan (Tri Lestari)

Selasa, 21 Agustus 2007

MENGGUNAKAN BIJI KAKAO TANAMAN PRODUKSI SEBAGAI BENIH ADALAH SEBUAH KESALAHAN?


Memperhatikan animo petani yang cukup besar untuk membudidayakan tanaman kakao bisa dimaklumi karena harga komoditi ini pada saat ini cukup menjanjikan. Namun sangat disayangkan jika menanam kakao dengan benih asalan karena akan mengalami kerugian 3 sampai 4 tahun kemudian.

Gelagat ini dialami oleh sejumlah besar petani di Gaura Kabupaten Sumba Barat Nusa Tenggara Timur. Setelah melihat tanaman kakao kebun seorang pengusaha setempat yang cukup baik, maka petani sekitar menjadi bernafsu menanam kakao menggunakan biji kakao dari kebun tersebut.

Tentu keputasan petani tersebut tidak tepat, karena tanaman kakao yang ditanam oleh si pengusaha tersebut adalah merupakan jenis kakao hibrida F-1. Alhasil jika bijinya ditanam maka tanaman yang dihasilkan kembali pada sifat-sifat induknya, antara lain buah kecil-kecil dan bijinya sedikit serta tanaman tidak tahan terhadap serangan hama/penyakit.

Namun sesungguhnya masih dapat diperoleh bahan tanaman dari tanaman bermutu tersebut dan dapat memberikan hasil sebaik induknya asalkan diperoleh dengan cara sambung pucuk.

Cara melakukan sambung pucuk cukup sederhana dan sama halnya dengan melakukan okulasi pada tanaman karet atau tanaman buah-buahan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :(1) Memilih benih/biji kakao yang akan digunakan sebagai batang bawah, syarat-syaratnya nantinya tanaman tersebut memiliki sistem perakaran yang kuat, tahan terhadap nematoda atau hama/[penyakit perakaran.

(2) Menanam benih/biji kakao pada polybag sampai berumur antara 3 s/d 4 bulan atau sampai terbentuk kambium. (3) Memilih pucuk dari tanaman yang diinginkan, dipilih yang memiliki ranting besar dan umur kira-kira sama dengan batang bawah yang akan disambungkan.

(4) Sambungkan pucuk dengan batang bawah dengan hati-hati dan bersih, bila perlu disemprot dengan fungisida. (5) Bungkus sambungan tersebut dengan plastik dengan kuat dan rapat biarkan sampai umur sekitar 3 bulan. (6) Amati keadaan tanaman hasil sambungan apabila tanaman baik, pucuk dan batang bawahnya tetap segar dan apabila digores sedikit berwarna hijau. Artinya proses penyambungan berhasil dan bibit dapat digunakan.

Apabila petani atau masyarakat tetap berkeinginan untuk menanam kakao dari benih, disarankan agar menghubungi pihak Dinas perkebunan setempat atau Pusat Penelitian Kopi dan Kakao untuk memperoleh benih kakao dari kebun induk yang telah direkomendasikan dan telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian / Surat Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan.(Ir. Sambodo Turwibowo,MM)

PERKEBUNAN DAN TANTANGAN PEMANASAN GLOBAL


Saat ini kita tengah menghadapi ancaman pemasanan global. Selama 100 tahun terakhir, rata-rata suhu bumi telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celcius, dan diperkirakan akan meningkat sebesar 1,4 sampai 5,8 derajat Celcius pada 2050. Adapun penyebab utama pemanasan bumi ini adalah pembakaran bahan bakar fosil terutama batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang melepas karbondioksida (Co2) dan gas-gas lainnya yang disebut sebagai gas rumah kaca ke atmosfer bumi.

Gas rumah kaca analog dengan kaca yang melapisi bumi. Panas matahari yang masuk ke bumi berupa radiasi gelombang pendek dapat menembus lapisan gas rumah kaca dan kemudian sebagian diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang.

Namun radiasi gelombang panjang memiliki daya tembus terbatas maka, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa terhalang oleh permukaan gas gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Seperti halnya rumah kaca pada budidaya pertanian, dimana kaca berfungsi sebagai penahan panas untuk menghangatkan rumah kaca.

Dampaknya adalah kenaikan temperatur atmosfer yang kemudian menimbulkan pemanasan global yang beresiko mengakibatkan pemusnahan berbagai jenis keanekragaman hayati, peningkatan frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan banjir, pencairan es dan glasier di kutub, peningkatan jumlah tanah kering yang potensial menjadi gurun karena kekeringan yang berkepanjangan, kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas, kenaikan suhu air laut penyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia, meningkatnya frekuensi kebakaran hutan, menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah -daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (WWF, 2007).

Perkebunan dan Isu Pemanasan.
Upaya penanggulangan pemanasan global adalah dengan pengurangan jumlah gas Co2 di atmosfir dengan mereduksi pemanfaatan bahan bakar fosil dan produksi gas rumah kaca, menekan atau menghentikan penggundulan hutan, serta penghutanan kembali tanah-tanah kritis secara besar-besaran untuk menciptakan wilayah serapan gas Co2. Serta melokalisasi gas Co2 atau dengan menangkap dan menyuntikkannya ke dalam sumur-sumur minyak bumi.

Peran perkebunan menjadi sangat penting terkait dengan hal tersebut. Karena dapat berperan sebagai wilayah serapan CO2. Tanaman perkebunan yang bersifat tahunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa, kakao dapat sekaligus menjadi tanaman penghijauan untuk lahan-lahan gundul atau kritis yang di sisi lain memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat.

Tanaman perkebunan seperti jambu mente dan jarak pagar merupakan jenis tanaman yang cocok untuk konservasi lahan karena dapat tumbuh dengan baik di lahan kritis dan relatif mampu bertahan di wilayah kering. Terkait dengan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, maka penggunaan bahan bakar bio-fuel menjadi solusi terbaik, yang juga dihasilkan dari produk tanaman perkebunan seperti minyak kelapa sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar, tetes tebu dsb.

Kebijakan Perkebunan
Oleh sebab itu untuk kebijakan perkebunan ke depan tidak saja hanya berkutat pada peningkatan produktivitas saja, namun juga mengintroduksi isu pemanasan global. Penanggulangan pemanasan global memang tidak secara langsung berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun pemberantasan kemiskinan, namun permasalahan ini sangat terkait dengan kelangsungan hidup umat manusia di masa yang akan datang.

Hanya saja dampaknya tidak bersifat masif melainkan gradual, perlahan tapi pasti akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Banyak pihak yang terlena demikian juga pemerintah, dengan kurang memperhatikan isu ini. Dampaknya sudah mulai di depan mata, bahwa berbagai bencana yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia yang mengakibatkan terjadinya musim panas yang berkepanjangan di berbagai negara atau musibah banjir, longsor di berbagai wilayah di Indonesia adalah dampak adanya pemanasan global.

Departemen Pertanian dalam hal ini perlu segera mengintroduksi isu pemanasan global melalui kebijakannya dan tidak hanya terfokus pada permasalahan peningkatan produktivitas semata. Karena tanggung jawab untuk memelihara bumi dan segala kehidupannya adalah tanggung jawab setiap pihak.

Kamis, 16 Agustus 2007

TEMU LAPANG AGROINDUSTRI KOPI DI BONDOWOSO DAN JEMBER


„Benar – benar enak......!!“ Komentar – komentar senada jg terdengar diantara peserta setelah meneguk secangkir kopi luwak yang boleh dinikmati para peserta temu lapang agroindustri yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Kopi dengan harga mencapai $20/ kg ini memang disajikan pada acara manajemen produksi biji kopi arabika luwak dan sajian citarasa minuman kopi arabika luwak dibanding proses standar.

Kedua acara tersebut merupakan serangkaian acara yang telah disusun oleh panitia temu lapang agroindustri tahun 2007 dengan tema Penguatan Agribisnis Kopi Melalui Penerapan Inovasi Teknologi. Adapun tujuan kegiatan ini diselenggarakan adalah untuk memperkenalkan kopi arabika tipe katai tahan karat penyakit daun (klon BP 416 A), memperagakan teknik perbanyakan klonal kopi arabika untuk lahan endemik maupun lahan bebas serangan nematoda parasit, memperagakan teknologi pengelolaan nutrisi pada budidaya kopi arabika, memperagakan sistem manajemen budidaya kopi integrasi kopi – ternak kambing – biogas, dan memperkenalkan teknologi pengolahan hulu kopi arabika hemat air, serta memperkenalkan berbagai alsin hasil rekayasa PPKKI serta aneka produk teknologi industri hilir kopi.

Acara yang berlangsung selama dua hari, dari tanggal 19 s/d 20 Juni 2007, ini dihadiri oleh peserta yang berasal dari pelaku bisnis agroindustri kopi. Terdiri dari para petani, pengelola perkebunan besar negara dan lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang kopi, pengambil kebijakan tingkat pusat, propinsi maupun tingkat kabupaten di bidang perkebunan, praktisi agroindustri kopi, penyuluh, peneliti, dosen dan mahasiswa, pemerhati serta perbankan (BRI). Selain itu hadir juga sebagai undangan, Bupati Bondowoso, Ketua DPRD Kab. Bondowoso, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, perwakilan dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktur Eksekutif LRPI, Direktur PT. Nestle Indonesia, perwakilan dari BRI cabang Jember, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bondowoso, dan Kepala Desa Andungsari.

Hari pertama, setelah pendaftaran, peserta dibawa ke Kebun Percobaan Andungsari Kabupaten Bondowoso untuk melihat keragaan klon hasil penelitian PPKKI, BP 416 A, yang merupakan bahan tanam klonal pertama pada kopi arabika tipe katai yang dalam waktu dekat akan dilepas. Klon ini diidentifikasi memiliki keunggulan tahan penyakit daun dan apabila dikelola secara optimal (dengan pengelolaan budidaya baku, pemupukan tepat waktu dan tepat dosis, serta pemberian naungan tetap) maka produktivitasnya dapat tetap prima hingga berumur lebih dari sepuluh tahun.

Karakter morfologi yang paling menonjol dibanding kopi arabika tipe katai lainnya pada klon BP 416 A terletak pada daunnya yang tebal dan bertulang, berwarna hijau tua dengan tulang daun seperti sirip dengan alur tegas, pupus berwarna coklat. Dompolan buah teratur rapi pada setiap ruas cabang produktif seperti untaian kalung. Warna buah muda hijau bersih, sedangkan buah masak relatif serempak. Selain tahan penyakit karat daun, klon ini juga memiliki potensi produksi tinggi, yaitu lebih dari 1,5 ton/ha, untuk populasi 2.000 pohon/ha (PPKKI, 2007, Kopi Arabika Klon BP 416 A, leaflet).

Akan tetapi, klon ini juga memiliki beberapa kelemahan. Klon BP 416 A, sebagaimana kopi arabika tipe katai yang memiliki potensi produksi tinggi cenderung potensial mengalami pembuahan berlebih sehingga sarat teknologi masukan tinggi pula terutama dalam hal kebutuhan hara. Akibatnya, jika nutrisi tidak terpenuhi maka rendemen akan turun dan tanaman tidak berumur panjang. Selain itu jika diperbanyak dengan benih, klon ini akan mengalami segregasi sifat ketahanannya mencapai lebih dari 70% dari populasi, seperti terlihat pada beberapa tanaman dari klon BP 416 A yang dipamerkan pada kegiatan temu lapang ini.

Hari kedua, peserta dibawa untuk melihat hasil penelitian teknologi industri hulu – hilir kopi di kebun percobaan Kaliwining. Beberapa alat yang diperagakan adalah alat mesin komponen proses pengolahan biji kopi serta pengolahan kopi bubuk dan kopi instant. Selain peragaan alat, diperagakan juga teknologi pembuatan kopi rendah kafein dan pembuatan kopi instan yang disertai coffee fair yaitu bazar berbagai produk olahan berbahan baku kopi seperti kopi bubuk, kopi jahe, kopi decafeinated, kopi erexsa, kopi instan dan roti bolu kopi. Selain itu, peserta juga sangat antusias mengikuti promosi dan pengenalan berbagai daerah penghasil kopi di Indonesia, karena pada kesempatan ini peserta diperbolehkan mencicipi beragam seduhan kopi yang disajikan.

Pada setiap acara, diadakan sesi diskusi yang memungkinkan peserta bertanya maupun memberikan tanggapan terhadap apa yang mereka lihat selama kegiatan berlangsung. Pihak panitia juga menyediakan berbagai informasi yang diperlukan peserta, baik melalui leaflet – leaflet yang disediakan maupun melalui informasi dari tim peneliti PPKKI yang terdiri dari R. Hulupi untuk masalah budidaya dan varietas, Pudji Raharjo untuk masalah benih, Soetanto Abdulah untuk masalah pemupukan, Sri Sukamto untuk masalah HPT, Sudarsianto untuk masalah pembibitan, Sri Mulato untuk masalah alsin, Cahya Ismayadi untuk masalah citarasa, dan Surip Mawardi untuk masalah kemitraan, serta Agus Budi Santoso untuk masalah penyampaian hasil penelitian dan kursus.

Setelah acara ditutup oleh Direktur PPKKI, para peserta pulang dengan rasa puas akan informasi yang mereka peroleh. (Fransisca & Kusmiati)

Selasa, 14 Agustus 2007

Eksplorasi Kopi Arabika Preanger di Propinsi Jawa Barat


Dengan meningkatnya prospek perkopian internasional saat ini maka Pemerintah Daerah Jawa Barat melalui Dinas Perkebunan Propinsi mencoba untuk mengangkat kembali Kopi Preanger yang telah cukup dikenal pada masa jayanya dahulu.

Kopi Preanger adalah kopi jenis arabika yang ditanam awal mulanya oleh seorang mandor kebun PT. Cinchona yaitu H. Warman pada jaman awal kemerdekaan. Lokasi penanamannya adalah di Desa Cipanas Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung dengan letak ketinggian berkisar 1.300 meter d.p.l..

Awal mula ditanam dari bibit yang diambil dari kebun pembibitan di Bogor sebanyak 2.000 pohon ditanam pada tahun 1955. Selanjutnya kopi preanger tersebut berkembang ke daerah lain yaitu sekitar Kabupaten Garut, namun tidak terkendali penyebaran dan luasannya sehingga tidak dapat diketahui luasan penyebarannya secara pasti..

Untuk itu, sebagai langkah upaya mengangkat kembali kopi Preanger maka dilakukan eksplorasi oleh ahli Kopi dari Lembaga Penelitian dan diikuti oleh Instansi terkait yaitu, Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Perkebunan c.q. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi.

Eksplorasi awal telah dilakukan pada tanggal 28 sampai dengan 31 Juli 2007 dengan pelaksana adalah Dr. Ir. Retno Hulupi, MS dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember, Ir. Sambodo Turwibowo, MM dari Direktorat Jenderal Perkebunan c.q. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi dan Harun Alrasyid dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Benih Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat.

Namun dari hasil eksplorasi yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao belum dapat diperoleh kesimpulan pengamatan karena masih harus dilakukan pengamatan lagi pada saat musim hujan untuk melihat kondisi pertanaman dan tanah setempat. Adapun hal-hal yang diamati saat eksplorasi antara lain : 1)Mengamati determinasi tanaman yang dikatagorikan kopi preanger 2) Mengamati kemampuan produksi dengan menghitung secara sampel terhadap buah baik yang sudah masak maupun yang masih hijau 3)Mengamati ketahanan tanaman terhadap hama/penyakit yang mungkin mengganggu 4)Mengamati teknis budidaya tanaman (jarak tanam, tanaman naungan, tanaman intercrop, pembuatan teras dan guludan dsb.) 5) Mengamati kondisi tanah yang akan dianalisa secara laboratorium pada saat musim kemarau dan dan musim penghujan 6)Mengamati sifat ke-khasan kopi preanger dilihat dari rasa, aroma (taste), untuk itu diambil sampel biji kopi ose untuk diolah dan dicicipi oleh ahli rasa kopi (taster 7) Mencoba untuk mengembangkan di kebun percobaan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember sebagai tanaman koleksi dan kekayaan plasma nuftah kopi Indonesia.

Disamping itu tim eksplorasi juga mencoba untuk mengamati tanaman kopi lain yang dikembangkan di daerah sekitarnya. Pada umumnya para mpetani menanam kopi arabika dari jenis yang beragam (heterogen) yaitu terdiri dari : Kartika 1, Kartika 2, Katimor, Andongsari, dan kopi Aceh Tengah (Ateng).

Dari jenis-jenis kopi arabika tersebut yang digemari oleh petani adalah jenis Ateng dan Katimor karena mampu tumbuh baik pada lahan marginal dengan kenampakan pertumbuhan dan produksi yang menyenangkan bagi petani. Namun, yang cukup memprihatinkan adalah bahwa kopi-kopi tersebut bukan merupakan jenis kopi anjuran (bukan termasuk benih bina).

Menurut pendapat Dr. Ir. Retno Hulupi, MS bahwa jenis kopi-kopi yang disukai oleh petani tersebut merupakan kopi perpaduan antara kopi arabika dan kopi robusta atau yang umum dikenal dengan nama kopi arabusta. Sifat-sifat dari kopi arabusta adalah jenis kopi dengan rasa dan aroma antara arabika dan robusta sehingga kurang menarik untuk pasaran kopi internasional.

Dr. Ir. Retno Hulupi, MS menambahkan bahwa kita menanam kopi adalah untuk menjual rasa dan aroma bukan kuantitasnya yang banyak, karena dipasaran kopi internasional yang memiliki nilai jual yang terbaik adalah kopi arabika lalu disusul oleh kopi robusta sedangkan kopi arabusta nilai jualnya jauh lebih rendah dari kopi robusta, sehingga kasihan petani apabila kopinya dinilai pasaran internasional terlalu rendah.

Hal ini sangat menarik guna meneruskan informasi ini kepada masyarakat banyak bahwa saat ini kita tidak menjual kwantitas tetapi menjual kwalitas dan hampir untuk semua komoditi. Makin besar kwantitasnya makin besar pula biaya overhead costnya sedangkan nilai jualnya masih dipertanyakan. (Ir. Sambodo Turwibowo).

Minggu, 12 Agustus 2007

SIAPA BILANG JADI PENANGKAR TIDAK UNTUNG


Menjadi penangkar? Bisnis perbenihan? Tidak banyak orang yang berminat berkecipung di bisnis perbenihan. Alasannya karena bisnis perbenihan dianggap memiliki resiko kegagalan tinggi, permintaan tidak dapat diprediksi. Intinya usaha perbenihan tidak dianggap prospektif. Namun apakah demikian?

Barangkali kita tidak dapat menampik adanya resiko dalam usaha perbenihan, namun yang pasti setiap jenis usaha memiliki tingkat resiko. Namun orang-orang yang optimis tidak memfokuskan diri pada resiko melainkan pada peluang. Yang menjadi pertanyaan apakah usaha perbenihan dapat memberikan keuntungan mengiurkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita dengarkan kisah sukses Bapak Yulianto yang memilih untuk terjun di bisnis perbenihan sebagai penangkar di Kab. Pelaihari, dan sukses.

Memilih Menjadi Penangkar
Berawal dari rencana petani EX. Plasma Tebu Pelaihari beralih komoditi dari tebu menjadi kelapa sawit dan turunnya bantuan pemerintah pusat kepada kelompok tani dengan pola PMUK untuk pembuatan dan penanaman bibit kelapa sawit pada tahun 2003. Bapak Yulianto bernaung di bawah bendera Koperasi Agro Berseri Pelaihari, memberanikan diri untuk mencoba atau menangkarkan bibit kelapa sawit sebanyak 180.000 batang untuk seluas 1000 Ha.

Pertama kali manangkarkan bibit pada tahun 2003 dengan jenis bibit kelapa sawit sebanyak 180.000 batang sangat terasa berat sekali beban dana yang harus di tanggung karena proyek dengan dana APBN yang cair pada bulan Juli – Agustus 2003, sedangkan pekerjaan harus dimulai pada bulan Januari 2003. Namun atas petunjuk Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan memfasilitasi program waralaba benih kelapa sawit dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan yang dimulai pada tahun 2003 sejumlah 180.000, tahun 2004 sejumlah 200.000, tahun 2005 sejumlah 200.000, tahun 2006 sebanyak 200.000 dan sampai dengan tahun 2007 sebanyak 200.000 biji kecambah. Dengan adanya program tersebut maka Bapak Yulianto dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik dan tepat waktu.

Dengan adanya Program Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan yang memprioritaskan komoditi kelapa sawit dan karet, Bapak Yulianto pada tahun 2005 disamping menangkarkan bibit kelapa sawit juga menangkarkan bibit karet dengan membuat kebun Entres jenis unggul klon generasi III dan generasi IV antara lain Klon : PB-260, PB-330, IRR-5, IRR-13, IRR-39, IRR-42 dan IRR-118 juga membuat kebun perbanyakan dengan jumlah yang terbatas ternyata sempat kewalahan dalam melayani permintaan baik dari proyek pemerintah maupun dari petani swadaya yang penyerapannya cukup tinggi karena didukung oleh harga karet yang cenderung meningkat.

Melihat pangsa pasar yang begitu luas pada tahun 2006, saya memperbanyak populasi tanaman Entres sehingga sampai saat ini jumlahnya mencapai ± 12.000 pohon dengan luas 1 ½ Ha dan juga menanam kebun perbanyakan/batang bawah seluas 15 Ha dengan populasi sebanyak ± 1.000.000 (satu juta) pohon.

Memasarkan Benih
Berhubungan dengan pemasaran, yang pertama Bapak Yulianto lakukan adalah memenuhi syarat legalisasi seorang penangkar dengan mengajukan permohonan kepada Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan untuk dapat diberikan Surat Tanda Registrasi Usaha Bibit Perkebunan (TRUP) dan juga diberikan sertifikat kebun Entres.

Yang kedua, membuat bibit karet maupun kelapa sawit dengan kondisi yang bagus dengan klon terpisah sehingga konsumen dapat memilih bibit tertentu sesuai dengan yang dikehendaki. Kepuasan konsumen adalah kunci keberhasilan usaha penangkaran karena konsumen-konsumen baru umumnya adalah orang-orang yang mendapatkan informasi dari konsumen yang telah terlebih dahulu membeli benih.

Untuk pemasaran bibit karet saat ini tidak hanya memenuhi kebutuhan wilayah Kalimantan Selatan akan tetapi sudah sampai pada Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur bahkan ke Pulau Jawa, baik itu untuk Proyek Pemerintah maupun Perkebunan Rakyat dan Perkebunan Besar Swasta.

Permodalan
Sebagian modal yang Bapak Yulianto pergunakan adalah kredit Perbankan jangka pendek selama 1 tahun, tetapi usaha pembibitan dengan keuntungan antara 25 – 40 % maka tingkat pengembalian modal selalu tepat waktu dan keuntungan tersebut disamping saya pergunakan untuk memperluas lahan dan menambah modal kerja juga untuk menopang kebutuhan hidup keluarga.

Artinya usaha perbenihan menurut Bapak Yulianto cukup menguntungkan dan sehingga mitos usaha perbenihan tidak prospetif barangkali perlu direnungkan sekali lagi. Tentunya yang diperlukan adalah kerja keras dan displin dalam pengelolaan keuangan, jika hal ini yang dilakukan maka usaha perbenihan akan menjadi usaha yang sangat mengiurkan. Sehingga tidak adanya mencoba terjun dalam usaha benih apalagi saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melalui usaha peningkatan pemanfaatan benih bermutu (Enjang & Yuli Susanto).

Bapak Yuli Susanto
Komplek Mustika Karya No. 2 RT. 25/ IV Kel. Guntung Manggis Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan Telp (0511)4783355; HP:08125045672

Kamis, 09 Agustus 2007

PERSENTASE BUNGA BETINA SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENENTU PRODUKSI BENIH JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L)


Seperti kebanyakan tanaman, produksi benih jarak pagar (Jatropha curcas L.) dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Ekspresi yang muncul merupakan hasil interaksi kedua faktor tersebut. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi faktor genetik dan lingkungan (GxE) yang signifikan pada tanaman jarak pagar. Faktor genetik yang mempengaruhi diantaranya potensi tanaman membentuk bunga jantan dan betina, sedangkan faktor lingkungan diantaranya ketersediaan air, cahaya, kesuburan tanah, angin, hujan, serangga dan lain-lain.

Hasil observasi di Kebun Induk Jarak Pagar Pakuwon, Sukabumi, Jawa Barat, pada awal bulan April 2006 terhadap populasi tanaman jarak pagar yang berumur lebih kurang 3 bulan menunjukkan bahwa persentase bunga betina per rangkaian bunga sangat rendah, rata-rata hanya ditemukan 1 - 3 bunga betina diantara lebih dari 10 bunga jantan (Gambar A). Hal ini dapat disebabkan karena faktor genetik, artinya potensi membentuk bunga betina memang rendah, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, artinya kekurangan unsur hara pembentuk bunga betina, terlalu banyak hujan dan lain sebagainya. Dapat juga disebabkan karena umur tanaman yang belum optimal untuk produksi benih (faktor fisiologis).

Di samping jumlah bunga betina yang sangat sedikit, hasil observasi juga menunjukkan bunga relatif mudah gugur; bila tanaman mendapat goyangan sedikit, sebagian besar bunga gugur, terutama dari tandan pertama dan kedua. Bila kondisi seperti ini terus berlangsung, produksi benih jarak pagar dikhawatirkan relatif rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan tindakan untuk memperbaiki faktor-faktor penentu tersebut.

Faktor genetik dapat diatasi dengan melakukan seleksi; tanaman yang dipilih adalah tanaman yang memiliki persentase bunga betina cukup besar; faktor lingkungan dapat diatasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti kecukupan akan air, hara, penyinaran dan lain-lain, disamping itu bila diperlukan memberikan perlakuan terhadap tanaman seperti pemangkasan. Semua faktor penentu tersebut perlu diamati lebih jauh agar target produksi benih jarak pagar dapat tercapai (Sumber: Info Tek Jarak Pagar Vol. 1 Nomor 5, Mei 2006, Puslitbanbun)

Rabu, 01 Agustus 2007

TEKNOLOGI BIO-FOB


Bio-FOB, adalah formula dengan bahan aktif (b.a) spora Fusarium oxysporum non patogenik (Fo. NP). Untuk aplikasi dilapangan telah disiapkan 4 macam formula yang sudah dipaten pada Ditjen HAKI yaitu : a. Bio-FOB EC : formula berbentuk cair mengandung spora Fo.NP 10 6 cfu/ml dengan kemasan 1 liter. b. Bio-FOB WP : formula berbentuk tepung (powder) mengandung spora Fo.NP 10 6 cfu/g dengan kemasan 1 lb. C. Organik-FOB : formula berbentuk bahan organik. mengandun spora Fo.NP 10 6 cfu/g dengan kemasan 10kg. D. Biof MA (Cocobiofob) : formula yang dikemas dalam three in one dengan kemasan 1kg/bungkus terutama digunakan untuk benih tanaman berbiji seperti ; tomat, tembakau, cabe, melon, semangka dll.

KEGUNAAN. Hasil observasi dapat diketahui kegunaan formula pada tanaman antara lain : 1) Menginduksi/meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen penyakit terutama yang disebabkan oleh cendawan. 2) Menyeleksi bibit yang telah terinfeksi oleh patogen, sehingga mencegah peluang patogen penyakit terbawa kelapanan.3) Menghasilkan bib it yang bermutu dan bebas patogen penyakit. 4) Merangsang pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

MEKANISME KERJA: 1) Induksi Fo.NP dapat mengaktifkan secara cepat berbagai mekanismie resistensi tanaman, diantaranya akumulasi fitoaleksin, dan peningkatan aktivitas beberapa jenis enzim penginduksi seperti ß-1,4-glukosidase, chitinase dan ß-1-3-glukanase. 2) Senyawa fitoaleksin yang dihasilkan adalah sustansi antibiotik yang diproduksi oleh tanaman inang apabila ada infeksi patogen atau pelukaan. 3) Induksi Fo.NP meningkatkan terbentuknya hormon tumbuh seperti IAA dapat mempercepat dan meningkatkan produksi pada beberapa tanaman.

MUTU. 1) Proses produksi dikerjakan oleh teknisi BALITTRO yang telah berpengalaman dibawah pengawasan langsung penemu/peneliti Bio-FOB. 2) Kultur yang digunakan secara periodik dimurnikan dan dijaga kwalitasnya serta dikoleksi di laboratorium Fitopatologi BALITTRO, Bogor. 3) Viabilitas Bio-FOB disimpan dalam suhu kamar/ruangan dapat bertahan sampai 2-3 tahun.

TRAINING. Terdapat kesempatan untuk mengikuti training penguasaan teknologi Bio-FOB dengan menghubungi Balitro atau langsung kepada Bapak Dr. Ir. Mesak Tombe APU melalui ke (0251) 319605, HP.0856928381264 atau melalui email ke meori_agro@yahoo.co.id