Selasa, 14 Agustus 2007
Eksplorasi Kopi Arabika Preanger di Propinsi Jawa Barat
Dengan meningkatnya prospek perkopian internasional saat ini maka Pemerintah Daerah Jawa Barat melalui Dinas Perkebunan Propinsi mencoba untuk mengangkat kembali Kopi Preanger yang telah cukup dikenal pada masa jayanya dahulu.
Kopi Preanger adalah kopi jenis arabika yang ditanam awal mulanya oleh seorang mandor kebun PT. Cinchona yaitu H. Warman pada jaman awal kemerdekaan. Lokasi penanamannya adalah di Desa Cipanas Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung dengan letak ketinggian berkisar 1.300 meter d.p.l..
Awal mula ditanam dari bibit yang diambil dari kebun pembibitan di Bogor sebanyak 2.000 pohon ditanam pada tahun 1955. Selanjutnya kopi preanger tersebut berkembang ke daerah lain yaitu sekitar Kabupaten Garut, namun tidak terkendali penyebaran dan luasannya sehingga tidak dapat diketahui luasan penyebarannya secara pasti..
Untuk itu, sebagai langkah upaya mengangkat kembali kopi Preanger maka dilakukan eksplorasi oleh ahli Kopi dari Lembaga Penelitian dan diikuti oleh Instansi terkait yaitu, Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Perkebunan c.q. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi.
Eksplorasi awal telah dilakukan pada tanggal 28 sampai dengan 31 Juli 2007 dengan pelaksana adalah Dr. Ir. Retno Hulupi, MS dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember, Ir. Sambodo Turwibowo, MM dari Direktorat Jenderal Perkebunan c.q. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi dan Harun Alrasyid dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Benih Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat.
Namun dari hasil eksplorasi yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao belum dapat diperoleh kesimpulan pengamatan karena masih harus dilakukan pengamatan lagi pada saat musim hujan untuk melihat kondisi pertanaman dan tanah setempat. Adapun hal-hal yang diamati saat eksplorasi antara lain : 1)Mengamati determinasi tanaman yang dikatagorikan kopi preanger 2) Mengamati kemampuan produksi dengan menghitung secara sampel terhadap buah baik yang sudah masak maupun yang masih hijau 3)Mengamati ketahanan tanaman terhadap hama/penyakit yang mungkin mengganggu 4)Mengamati teknis budidaya tanaman (jarak tanam, tanaman naungan, tanaman intercrop, pembuatan teras dan guludan dsb.) 5) Mengamati kondisi tanah yang akan dianalisa secara laboratorium pada saat musim kemarau dan dan musim penghujan 6)Mengamati sifat ke-khasan kopi preanger dilihat dari rasa, aroma (taste), untuk itu diambil sampel biji kopi ose untuk diolah dan dicicipi oleh ahli rasa kopi (taster 7) Mencoba untuk mengembangkan di kebun percobaan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember sebagai tanaman koleksi dan kekayaan plasma nuftah kopi Indonesia.
Disamping itu tim eksplorasi juga mencoba untuk mengamati tanaman kopi lain yang dikembangkan di daerah sekitarnya. Pada umumnya para mpetani menanam kopi arabika dari jenis yang beragam (heterogen) yaitu terdiri dari : Kartika 1, Kartika 2, Katimor, Andongsari, dan kopi Aceh Tengah (Ateng).
Dari jenis-jenis kopi arabika tersebut yang digemari oleh petani adalah jenis Ateng dan Katimor karena mampu tumbuh baik pada lahan marginal dengan kenampakan pertumbuhan dan produksi yang menyenangkan bagi petani. Namun, yang cukup memprihatinkan adalah bahwa kopi-kopi tersebut bukan merupakan jenis kopi anjuran (bukan termasuk benih bina).
Menurut pendapat Dr. Ir. Retno Hulupi, MS bahwa jenis kopi-kopi yang disukai oleh petani tersebut merupakan kopi perpaduan antara kopi arabika dan kopi robusta atau yang umum dikenal dengan nama kopi arabusta. Sifat-sifat dari kopi arabusta adalah jenis kopi dengan rasa dan aroma antara arabika dan robusta sehingga kurang menarik untuk pasaran kopi internasional.
Dr. Ir. Retno Hulupi, MS menambahkan bahwa kita menanam kopi adalah untuk menjual rasa dan aroma bukan kuantitasnya yang banyak, karena dipasaran kopi internasional yang memiliki nilai jual yang terbaik adalah kopi arabika lalu disusul oleh kopi robusta sedangkan kopi arabusta nilai jualnya jauh lebih rendah dari kopi robusta, sehingga kasihan petani apabila kopinya dinilai pasaran internasional terlalu rendah.
Hal ini sangat menarik guna meneruskan informasi ini kepada masyarakat banyak bahwa saat ini kita tidak menjual kwantitas tetapi menjual kwalitas dan hampir untuk semua komoditi. Makin besar kwantitasnya makin besar pula biaya overhead costnya sedangkan nilai jualnya masih dipertanyakan. (Ir. Sambodo Turwibowo).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar