Rabu, 02 Juli 2008
JANGAN BIARKAN RAKYAT TERJEPIT DEFISIT BIBIT KARET
Harga minyak mentah yang tinggi membuat produksi karet sintetis tidak lagi efisien. Industri kembali melirik karet alam sebagai bahan baku. Harga karet alam pun melonjak. Petani bergairah dan ingin meremajakan tanamannya, yang sebagian besar ditanam pada kurun 1970-1980-an. Namun, peremajaan serentak justru menimbulkan ancaman baru. Kita defisit bibit unggul!
Pemerintah harus segera menyusun rencana strategis khusus untuk mengatasi defisit bibit. Dari 3,2 juta hektar tanaman karet di Indonesia, 2,7 juta hektar di antaranya merupakan milik rakyat.
Terdapat 2,5 juta keluarga atau 11 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini. Kita memiliki prospek yang sangat cerah dari perkebunan karet.
Namun, sebagian besar dari kebun karet rakyat sudah tidak produktif lagi karena usia. Harga karet alam yang rata-rata 2 dollar AS per kilogram, dengan rekor tertinggi 2,8 dollar AS pada Mei-Agustus 2006, telah memotivasi petani.
Mereka ingin meremajakan kebunnya yang kini hanya berproduksi sekitar 700 kilogram per hektar per tahun. Produktivitas tersebut terendah di Asia, sedangkan produktivitas kebun karet di Thailand mencapai 1,8 ton per hektar.
Harga yang baik mendorong petani untuk meremajakan kebunnya secara swadaya. Pemerintah pun, yang telah melihat prospek sektor agrobisnis, sudah tergerak untuk meremajakan kebun rakyat.
Departemen Pertanian akan meremajakan 250.000 hektar tanaman sampai 2009. Kemudian, ada juga program perluasan 50.000 hektar sampai kurun waktu yang sama.
Sedikitnya Rp 2 triliun dianggarkan negara untuk mendukung program ini. Pada saat yang sama, pemerintah daerah sentra produksi karet, seperti Sumatera Selatan dan Jambi, pun berniat meremajakan 40.000 hektar kebun karet rakyatnya.
Menurut Direktur Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) Didiek Hadjar Goenadi, program peremajaan yang berjalan serentak ini akan menimbulkan persoalan pada pasokan bibit unggul bersertifikat.
Dari kebutuhan 70 juta bibit setiap tahun, produsen dan penangkar bibit karet nasional baru mampu menghasilkan 50 juta bibit. Pusat Penelitian Karet berupaya terus meningkatkan produktivitasnya lewat program waralaba penangkaran.
Namun, upaya ini belum banyak membantu karena sulit menemukan penangkar andal yang mampu memproduksi sedikitnya 1 juta bibit per tahun.
Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian sebenarnya juga sudah membuat kebun bibit untuk memenuhi lonjakan kebutuhan.
Sedikitnya 587,5 hektar kebun bibit direncanakan terealisasi sampai tahun 2010. Jika diasumsikan setiap hektar menghasilkan 30.000 bibit, akan diperoleh 17,625 juta bibit sampai tahun 2010.
Meski sudah ada persiapan, pemerintah tidak boleh lagi berleha-leha. Mau tidak mau, pemerintah harus kerja lebih keras meningkatkan produksi bibit bersertifikat resmi untuk memenuhi melonjaknya permintaan.
Pakai Dana Revitalisasi
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Suharto Honggokusumo mengatakan, pemerintah sebaiknya memakai dana revitalisasi karet untuk penyediaan bibit.
Tujuannya, agar petani dapat langsung menanami kebunnya seusai menebang pohon karet tua dan membersihkan lahannya. Kesulitan memperoleh bibit tentu merugikan petani.
Selain lahannya tidak produktif, mereka juga rugi karena telah kehilangan produksi dari pohon yang ditebang. "Petani sangat membutuhkan kepastian persediaan bibit bersertifikat resmi," ujar Suharto.
Jika pemerintah tidak bergerak cepat, yang terjadi adalah Indonesia kehilangan kesempatan untuk tetap menguasai pasar karet alam internasional.
Saat ini saja, salah satu importir karet alam terbesar dunia, China, sudah mulai melirik Laos, Myanmar, dan Kamboja, yang berada di sepanjang Sungai Mekong, untuk berinvestasi perkebunan karet.
Negeri tirai bambu ini sadar, mereka tidak mungkin selamanya bergantung pada impor karet alam. Diperkirakan 25 tahun mendatang, China sudah memiliki 3 juta hektar kebun karet.
Mulai terjunnya China ke perkebunan karet sebenarnya merupakan indikasi semakin prospektifnya komoditas ini.
Kelambanan pasokan bibit unggul bersertifikat resmi hanya akan membuat Indonesia kehilangan potensi pasar ekspor. Pasar karet alam yang prospektif, selain Eropa dan Amerika Serikat, adalah China dan India.
Peluang Indonesia
Sekretaris Jenderal The International Rubber Study Group (IRSG) Hidde P Smit pada Konferensi Karet II di Hainan, China, 19-22 Maret 2007, memperkirakan, konsumsi karet alam dunia masih terus tumbuh.
Bahkan, pada 2009, laju konsumsi diperkirakan telah menyalip produksi. Pada tahun 2007 dunia akan mengonsumsi sekitar 9,351 juta ton dari produksi 9,583 juta ton karet alam.
Kemudian pada tahun 2008, konsumsi mencapai 9,845 juta ton dari produksi 9,847 juta ton. Sementara itu, pada 2009 konsumsi sudah mencapai 10,393 juta ton dari produksi sebesar 10,162 juta ton.
Sekarang Indonesia harus segera meremajakan kebun karet. Thailand sebagai produsen utama dunia saat ini sudah sulit menggenjot produksinya secara drastis 3,7 juta ton pada lahan seluas 2,3 juta hektar. Indonesia berpeluang untuk menjadi produsen utama karet alam dunia tahun 2020 dengan produksi 4 juta ton (Sumber: BUMN Online).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar