Dua tahun terakhir ini media massa besar seperti Kompas, Republika dan Media Indonesia tak henti-hentinya menyoroti masalah GMO (transgenik). GMO yang merupakan singkatan dari Genetically Modified Organism tidak lain adalah tanaman transgenik yang menghebohkan itu.
Dua tahun terakhir ini media massa besar seperti Kompas, Republika dan Media Indonesia tak henti-hentinya menyoroti masalah GMO. GMO yang merupakan singkatan dari Genetically Modified Organism tidak lain adalah tanaman transgenik yang menghebohkan itu.
Tanaman dihasilkan melalui rekayasa genetika dengan memindahkan satu atau beberapa gen yang dikehendaki dari suatu sumber gen ke tanaman yang dikehendaki. Sumber gen di sini bisa berarti sesama tanaman satu famili atau beda famili bahkan bisa dari organisme lain misal gen bakteri dsb.
Latar Belakang Munculnya GMO
Kita masih ingat semasa kuliah dulu bahwa perkembangan genetika dimulai pada tahun 1856 dengan hukum pewarisan Mendel. Pada tahun 1910 Thomas Hunt (ahli biologi) menemukan bahwa gen pembawa sifat keturunan terdapat pada khromosom. Pada tahun 1944 diketahui bahwa DNA diturunkan oleh setiap organisma, kemudian pada tahun 1952 diketahui bahwaDNA adalah penerus informasi genetik sampai akhirnya Watson dan Crick menemukan struktur DNA pada tahun 1953.
Masih segar dalam ingatan kita pada era pasca PD II bergulirlah Revolusi Hijau yang saat itu bak dewa penolong. Salah satu kemajuan yang diperoleh pada era Revolusi Hijau tersebut adalah penemuan varietas unggul. Varietas-varietas unggul ini merupakan hasil pemuliaan tanaman secara konvensional. Artinya, sifat-sifat unggul ditemukan dengan cara persilangan sampai beberapa generasi tanaman. Tentu saja penemuan varietas-varietas baru ini memerlukan waktu lama, sedangkan tantangan pemenuhan kebutuhan pangan dunia semakin mendesak. Negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk meneliti kemungkinan "percepatan" rekayasa genetika dengan menggabungkan sifat-sifat yang baik suatu tanaman dengan sifat-sifat lain yang diinginkan meskipun itu hasil "cuplikan" dari organisme lain. Sebagai contoh penemuan yang kontroversial adalah Golden Rice. Padi emas hasil rekayasa genetika antara padi dengan tanaman penghasil beta karoten ini menjadikan Golden Rice diyakini akan mampu menopang gizi penduduk di negara-negara berkembang.
Pro dan Kontra GMO
Banyak LSM yang menetang kehadiran tanaman transgenik di Indonesia, demikian pula dengan kesan yang kita tangkap dengan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan hal ini didukung dengan ulasan-ulasan yang cukup besar dalam pemberitaan sebuah harian terkemuka di Jakarta. Secara jujur dapat dikatakan pertentangan ini karena penguasaan GMO atau tanaman transgenik sendiri tidak dikuasai secara benar dan jernih karena lebih mengedepankan sifat apatisme.
Secara garis besar alasan mereka yang menentang kehadiran tanaman GMO ini adalah karena beberapa hal sebagai berikut.
Ketakutan masalah keamanan apabila produk GMO dikonsumsi manusia .
WHO serta badan pengawas pangan AS: FDA dan EPA telah memastikan bahwa produk GMO aman untuk dikonsumsi. Protein yang dihasilkan karena penyusupan "gen asing" akan mudah terdegradasi dengan adanya pemanasan. Jagung produk tanaman Bt corn maupun kedelai hasil GMO terbukti belum ada laporan yang menyebutkan bahwa produk ini beracun atau membahayakan bagi manusia. Resiko yang mungkin timbul adalah alergi pada sebagaian orang yang sangat peka pada produk ini. Pernahkah anda memikirkan bahwa tahu dan tempe yang anda konsumsi sehari-hari adalah produk GMO ? Mengapa kedelai yang besar-besar (eks Amerika) harganya sangat murah bila dibandingkan dengan kedelai lokal ?
Disadari atau tidak sebenarnya kita telah menjadi konsumen produk GMO terutama kedelai. Setiap tahun kita mengimpor kedelai dari Amerika bahkan sampai ratusan ribu ton karena kita belum mampu berswasembada kedelai.
Ketakutan akan menimbulkan hama-hama atau gulma yang resisten terhadap pestisida.
GMO bukanlah tanaman super. Umumnya satu tanaman hanya disusupi oleh satu gen asing. Sebagai contoh kapas Bt Bollguard yang kontroversial pengembangannya di Sulawesi Selatan. Tanaman ini karena dalam tubuhnya sudah ada gen Bacillus thuringiensis maka tanpa penyemprotan insektisida, tanaman akan terbebas dari ulat penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera). Namun tentu saja untuk hama Sundapterex sp., gen Bacillus thuringiensis tidak akan efektif, sehingga memang masih memerlukan penyemprotan insektisida khusus mengatasi masalah hama yang dulu dikenal sebagai empoaska ini. Inilah yang sering dibesar-besarkan media bahwa tanaman transgenik lebih peka serangan hama Sundapterex sp.
Ketakutan akan punahnya biodiversity (keanekaragaman hayati dicuri orang asing).
Ketakutan ini cukup beralasan mengingat banyak hasil produksi dalam negeri malah dipatenkan oleh orang luar negeri karena kesadaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI) pada masyarakat kita masih rendah. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini diperlukan lemabaga independen yang akan mengontrol masalah "pencurian" keanekaragaman hayati kita.
Ketakutan bahwa GMO akan membahayakan 1 - 2 generasi mendatang.
Masalah ini agak kurang berdasar hanya karena trauma efek negatif dari peristiwa Revolusi Hijau lalu. Mereka para LSM selalu mengatakan siapa yang akan bertanggungjawab atas nasib generasi mendatang. Ya tentu saja kita semua! Faktor kehati-hatian seperti tercantum dalam protokol Cartagena yang Indonesia ikut meratifikasi- memang perlu, namun upaya untuk meneliti sisi posititif dan negatif suatu teknologi tetap harus dilakukan.
Tuduhan bahwa benih GMO akan merugikan petani karena harga yang mahal.
Mereka menuduh bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia hanya dijadikan obyek mengeruk keuntungan semata, karena benih GMO pasti mahal. Petani harus membeli benih baru setiap menanam. Untuk mengupasnya kita ambil contoh kasus benih kapas Bollguard. Benih ini bisa 10 x lebih mahal dibandingkan benih kapas lokal Kanesia. Namun daya kecambahnya sampai 90%, sedangkan Kanesia hanya 25 - 40%. Belum lagi produksi per hektar Bollguard minimal 2 x lipat dengan populasi lebih minim. Biya penyemprotan pestisida dengan benih GMO jauh lebih sedikit dibandingkan dengan benih konvensional. Dari produksi saja bisa dihitung bahwa kenaikan harga benih tidak ada artinya dibandingkan dengan penambahan produksi. Kasusu seperti ini sebetulnya bukan hanya benih GMO, benih hibrida seperti cabai, semangka, melon dan kubis sangat menggantungkan benih import meskipun harga benihnya puluhan kali lebih mahal, namun tetap dicari petani karena produksinya sangat tinggi. Benih hibrida yang termasuk benih konvensional pun harus selalu menggunakan benih baru untuk penanaman berikutnya seperti halnya benih GMO. Mengapa ? Karena sifat-sifat unggulnya tidak akan diturunkan ke generasi berikutnya.
Di antara hiruk pikuk kontra GMO, saat ini lebih banyak alangan yang pro terhadap GMO. Departemen Pertanian, Departemen Riset dan Teknologi termasuk departemen yang sangat mendukung perkembangan GMO atau tanaman transgenik di Indonesia. Alasan beberapa kalangan yang pro tanaman transgenik hadir di Indonesia sebagai berikut.
Indonesia sebagai mega biodiversity.
Dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar (nomor 2 di dunia), Indonesia merupakan sumber potensi gen yang luar biasa untuk pengembangan tanaman transgenik ini.
Kekurangan suplai pangan dengan pangan bergizi.
Bukan rahasia lagi-terlebih di masa krisis ekonomi seperti sekarang, kecepatan pertambahan penduduk jauh melampaui kecepatan pemenuhan pangan. Selain itu asupan makanan bergizi bagi rata-rata masyarakat Indonesia masih rendah. Golden Rice akan mampu menjawab permasalahan klasik yang menipa kekurangan pangan dan gizi di negara Indonesia.
Menghemat pestisida dan tidak mencemari lingkungan (Bt rice, Bt cotton dsb.).
Beberapa tanaman transgenik diciptakan untuk mengurangi penggunaan pestisida, khususnya insektisida sehingga mengurangi resiko pencemaran lingkungan karena pestisida. Gen Bt (Bacillus thuringiensis) dimasukkan ke dalam gen tanaman padi dimaksudkan akan menciptakan tanaman padi yang tahan hama penggerek batang (yang umumnya menghasilkan gejala sundep dan beluk) sehingga produksi akan meningkat. Penyusupan gen Bt pada kapas akan menciptakan tanaman kapas yang tahan terhadap hama penggerek buah kapas (Helicoverpa sp.). Contoh kasus ini adalah vareitas Bollguard ex-Monsanto.
Teknologi sudah ada dan harus dipelajari.
Banyak ahli bioteknologi kita yang bernaung di bawah P3 Bioteknologi LIPI dan Balitbio Deptan sudah menimba ilmu di luar negeri akan sia-sia kalau belum-belum kita sudah apatis terhadap teknologi GMO ini. Kita trauma beberapa dekade lalu yang serba "bangkok", sehingga saking mindernya kita bisa menyebut produk pertanian asli kita dengan imbuhan "bangkok" di belakangnya. Sayangnya era transgenik di Indonesia ini dinodai dengan agresivitas berlebihan suatu perusahaan yang akhirnya malah menjadi bumerang perkembangan transgenik di Indonesia. Marilah kita pelajari transgenik ini , kalau kita tidak berusaha mempelajari tentu kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain. Namun demikian bukan hanya teknologi "cara" menghasilkan GMO yang perlu dipelajari, namun juga penelitian mengenai kemungkinan-kemungkinan negatif yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan teknologi transgenik ini. Dengan demikian potensi kekayaan alam yang kita punyai dapat termanfaatkan benar-benar untuk kesejahteraan anak cucu kita (http://www.situshijau.co.id/
Jumat, 21 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar